|

Emergensi: Reformasi Kepolisian RI Harus Sesuai Keinginan Masyarakat

POLRI ADALAH SIPIL, REFORMASI KEPOLISIAN HARUS TINGGALKAN CARA-CARA MILITER DALAM MELAYANI, MENGAYOMI, PELINDUNG MASYARAKAT. 


focuskejar.co.id/Medan- Seragam Cokelat sebagai warna dasar DINAS POLRI melambangkan tanah, kesahajaan, dan kehangatan yang mengayomi masyarakat (mesyarakat ketakutan bila berhadapan dengan polisi). Logo Polri memiliki Tiga bintang (Tribrata) tidak ada kesempurnaan bintang  dalam kepolisian melebihi Bintang Tiga.

Reformasi kepolisian dipicu oleh banyaknya pelanggaran penegakan hukum dan penyalahgunaan wewenang, seperti kekerasan, tindakan sewenang-wenang, dan korupsi yang merusak kepercayaan publik. Sangat mendesak kah reformasi kepolisian? Ya..Reformasi ini bertujuan mewujudkan kepolisian yang lebih profesional, akuntabel, transparan, dan responsif, serta mampu menegakkan hukum secara adil dan sesuai prinsip-prinsip HAM. Fokusnya adalah memperbaiki sistem, bukan sekadar perubahan organisasi atau peningkatan gaji, termasuk juga perbaikan budaya internal, seperti penolakan kekerasan dan hedonisme. 

Dasar reformasi ini adalah bahwa Polri berstatus sipil dan sudah tidak ada hubungan dengan militer sejak pemisahan ABRI pada reformasi 1998-1999, yang bertujuan agar kepolisian lebih profesional, mandiri, dan fokus melayani masyarakat, melindungi, mengayomi, serta menegakkan hukum sipil. Perubahan ini juga ditandai dengan penegasan bahwa polisi harus mengacu pada hukum sipil dalam menjalankan tugasnya, maka jangan salah, bila masyarakat meminta cara cara pelayanan di kepolisian tidak menggunakan cara militer. Ini yang harus di pertajam.

Selanjutnya pelanggaran HAM dan Korupsi: Pelanggaran HAM, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pemerasan terhadap para pelapor dan terlapor atau mereka yang tersandung kasus hukum dijadikan sapi perahan dalam bentuk pungli didalam kantor saat pemeriksaan, memberikan janji dibebaskan atau di ringankan dan bahkan pembunuhan di luar proses hukum menjadi akar masalah. Korupsi dan budaya hedonisme juga merusak profesionalisme. 

Budaya Brutalitas: Terdapat budaya kekerasan dan sikap arogan yang mengakar di dalam tubuh Polri, yang menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat. 

Kegagalan Mekanisme Pengawasan: Mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang ada seringkali tidak efektif dalam mencegah dan menindak pelanggaran yang dilakukan anggota. 

Berbagai pelanggaran, bahkan sandiwara penyelidikan, penyidikan itu sudah secara terbuka diperlihatkan kepada masyarakat. Bahwa jual beli atau transaksi kasus secara terang terangan, semua ini menjadi pemicu gelombang reformasi.

Tujuan Reformasi tersebut agar

Profesionalisme dan Akuntabilitas: Meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas Polri agar lebih bertanggung jawab kepada masyarakat. 

Transparansi: Meningkatkan transparansi dalam setiap tindakan dan keputusan kepolisian. 

Kesetaraan di Hadapan Hukum: Menerapkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) dalam setiap penegakan hukum. 

Keadilan dan Pelayanan Publik: Menjalankan prinsip-prinsip penegakan hukum secara konsisten dan memberikan pelayanan yang bersih dari korupsi, cepat, serta tuntas. 

Perbaikan Sistem Penegakan Hukum: Reformasi harus menyentuh sistem penegakan hukum secara menyeluruh, bukan sekadar perubahan organisasi atau personalia. 

Langkah-Langkah Reformasi

Perbaikan Sistem dan Struktur: Melakukan restrukturisasi internal, distribusi kewenangan yang lebih jelas, dan memperkuat mekanisme pengawasan yang independen. 

Perubahan Budaya Internal: Mengubah paradigma lama yang melihat diri sebagai "penghukum" dan beralih menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. 

Fokus pada "Quick Win": Melakukan perbaikan cepat, seperti memberantas perilaku koruptif, hedonis, serta meningkatkan kecepatan dan kualitas respons polisi. 

Penegakan Hukum Terhadap Pelanggar: Menuntut penegakan hukum yang tegas terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran. 

Bagaimana sistem kepolisian saat ini?

Sistem kepolisian saat ini dihadapkan pada berbagai masalah seperti lemahnya pengawasan internal dan eksternal, penyalahgunaan wewenang dan kekerasan, politisasi institusi, serta potensi lemahnya independensi dan imparsialitas dalam penegakan hukum dan penyidikan. Masalah ini diperparah dengan adanya upaya untuk meningkatkan kewenangan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian yang justru dikhawatirkan dapat mengaburkan akuntabilitas, melanggar hak sipil, serta memperpanjang peran kepolisian sebagai "alat kekuasaan" bukan sebagai pelayan masyarakat. 

Masalah Sistemik dan Strukturlal

Kewenangan yang Berlebihan: Potensi peningkatan kewenangan melalui RUU Kepolisian dianggap mengarah pada "superbody investigator" yang tidak diperlukan, meningkatkan risiko penyalahgunaan, dan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat serta privasi masyarakat. 

Lemahnya Pengawasan: Pengawasan internal dan eksternal (seperti Kompolnas) masih lemah, sehingga sulit untuk mencegah dan menindak penyimpangan serta impunitas yang dilakukan oknum polisi. 

Politisasi Institusi: Ada kekhawatiran bahwa kepolisian dapat dijadikan alat kekuasaan oleh elit politik untuk membungkam kritik atau mengarahkan dukungan politik, yang akan menghancurkan kepercayaan publik dan demokrasi. 

Masalah Akuntabilitas: Kurangnya kejelasan susunan organisasi dan tata kerja dalam RUU Kepolisian dapat menyebabkan para pejabat polisi saling lempar tanggung jawab, menghalangi pertanggungjawaban yang efektif. 

Masalah Budaya dan Etika

Budaya Kekerasan dan Korupsi: Masih ada kecenderungan pada perilaku kekerasan, praktik koruptif, dan gaya hidup hedonis di kalangan oknum polisi, yang menunjukkan reformasi budaya belum berjalan maksimal. 

Mentalitas Penguasa: Perlu adanya perubahan mindset anggota Polri dari yang menganggap diri sebagai penguasa menjadi pelayan masyarakat, karena hal ini menjadi kunci reformasi kultural. 

Penyalahgunaan Kewenangan: Banyak keluhan masyarakat terkait penyalahgunaan kewenangan, seperti pemerasan, rekayasa kasus, dan penangkapan tanpa standar administrasi yang sah. 

Upaya Reformasi dan Tantangan

Perlu Rekonstruksi Fundamental: Reformasi kepolisian tidak bisa hanya dilakukan secara kasuistis, tetapi harus menyentuh akar masalah seperti demiliteritasi, depolitisasi, dan desentralisasi secara fundamental untuk meredefinisi ulang jati diri Polri sebagai polisi sipil. 

Perbaikan Pendidikan dan Etika: Pendidikan karakter dan etika pelayanan publik perlu diperbaiki dalam kurikulum pendidikan kepolisian untuk mendukung perubahan kultural. 

Penguatan Lembaga Pengawas: Penguatan kewenangan dan independensi lembaga pengawas seperti Kompolnas sangat diperlukan untuk memastikan akuntabilitas dan meminimalkan penyalahgunaan wewenang.

Harapan rakyat: Polri fokus sebagai pelayan masyarakat dalam penegakan hukum. Bebaskan rakyat dari begal, premanisme, pemalakan, penggusuran, penyerobotan kemudian bebas dari kemacetan lalulintas yang sembraut di perkotaan, hal kecil seperti ini langsung dirasakan rakyat. Peraturan baru harus membebaskan Polri dari praktek beking membeking yang merendahkan martabatnya, jangan menjadi pengaman dan penjaga kebon, perusahaan, penambang liar, pembalakan hutan liar, bodyguard. Hal seperti itu cukup security/ satpam dan tak perlu dibekingi polisi (Refleksi Ulasan Media-tim). gsn



Komentar

Berita Terkini